TEMPO.CO, Jakarta - Pengumuman Badan Pusat Statistik atau BPS tentang pertumbuhan ekonomi sepanjang kuartal ketiga tahun ini berada di angka 5,02 persen (year on year) seakan memperjelas gambaran kabar buruk di akhir tahun. Terlebih karena sebelumnya sinyal dan prediksi perlambatan ekonomi global dan berimbas ke dalam negeri sudah sering dikirimkan oleh banyak pihak.
Jika mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional atau RPJMN 2015-2019, realisasi pertumbuhan ekonomi termasuk salah satu indikator yang meleset dari target. Mulanya, pemerintah memasang target tinggi yaitu 8 persen pada RPJMN 2015-2019. Namun, hingga akhir periode pertama Jokowi, pertumbuhan Produk Domestik Bruto Tanah Air hanya tumbuh moderat di kisaran 5 persen.
Pertumbuhan ekonomi paling rendah terjadi pada tahun pertama Jokowi, yaitu di 2015. Kala itu, angka pertumbuhan PDB hanya 4,79 persen alias melambat dari capaian 2014, yaitu 5,02 persen. Baru setahun setelahnya, pada 2016, pertumbuhan ekonomi mulai pulih ke 5,02 persen. Angka tersebut kembali naik ke 5,07 persen pada 2017 dan melambung ke 5,17 persen pada 2018. Per
Hal ini tak lepas dari lesunya tingkat konsumsi yang biasanya turut menjadi penopang pertumbuhan ekonomi. BPS mencatat pertumbuhan tahunan indeks konsumsi rumah tangga masyarakat pada paruh ketiga tahun ini stagnan. Berbagai aktivitas niaga penting dalam pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi. "Indeks penjualan eceran riil tumbuh 1,8 persen dari 4,56 persen," kata Kepala BPS Suhariyanto, Selasa, 5 November 2019.
Loyonya belanja masyarakat di sektor retail makin terlihat dengan realisasi pertumbuhan belanja kartu kredit yang cuma 1,84 persen pada kuartal III tahun ini. Padahal belanja kartu kredit pada kuartal yang sama tahun lalu tumbuh 4,5 persen. Melansir data BPS, belanja masyarakat di sektor makanan, pakaian, transportasi, komunikasi, restoran, hingga hotel mengalami penurunan.
Selain itu, acuan tingginya belanja masyarakat yang biasa tercermin dari penjualan mobil juga menurun pada tahun ini. Suhariyanto mengatakan penjualan mobil wholesale hingga ke tingkat dealer turun dari 302.774 unit menjadi 272.522 unit. Menurut Suhariyanto, geliat konsumsi masyarakat selama kuartal III tertahan lantaran sudah tidak ada bonus dan tunjangan hari raya. "Pada kuartal IV, ada peluang peningkatan.”
Ketua Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia, Roy Nicholas Mandey, mengaku laju pertumbuhan sektor retail memang tergopoh-gopoh selama kuartal lalu karena situasi politik dalam negeri yang kurang kondusif. Dia memprediksi laju pertumbuhan sektor retail kembali tak mencapai dua digit selama tiga tahun berturut-turut. "Tapi periode sisa tahun ini, di mana ada momen Natal dan Tahun Baru, kami optimistis pertumbuhannya bisa kembali dua digit," ujarnya.
Tak hanya di sektor konsumsi, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia, Rosan P. Roeslani, menyatakan kalangan industri juga sudah mulai ancang-ancang melakukan sejumlah efisiensi karena ketidakpastian ekonomi global ini. "Pengusaha juga agak ngerem produksi kalau begini. Mau ke luar juga lagi loyo dan persaingan sedang ketat," ujarnya. Dalam hitungannya, perekonomian hingga akhir tahun menurun hingga menjadi 5 persen.
Lebih jauh Rosan menyarankan agar pemerintah bisa memanfaatkan situasi seperti saat ini untuk memperbaiki industri manufaktur kita sebagai part of global value chain. Sebab, negara seperti Singapura yang masuk dalam rantai pasokan dunia dapat dengan mudah perekonomiannya terkerek jika ekonomi global maju pesat.